Iklan

header ads

Membaca Fakta Kehampaan Hak di Indonesia melalui 331 halaman

Warta Dhaksinarga - Buku yang berjudul Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia yang ditulis oleh Prof. Ward Berenschot, Prof. Ahmad Dhiaulhaq, Prof. Afrizal, dan Prof. Otto Hospes (2023) ini diawali dengan kisah 9 desa di Kalimantan Barat yang menuntut PT Sintang Raya untuk membayar kompensasi tanah mereka yang ‘diambil’ oleh ‘persekongkolan’ perusahaan dan negara. Dalam buku itu juga disebutkan tentang bagaimana putusan MA mencekik masyarakat dengan hanya memberikan 5 ha dari 900 ha, bahkan dalam hasilnya, masyarakat hampir tidak menerima kompensasi tersebut. Buku ini kurang lebih juga berisikan tentang cara komunitas masyarakat melawan perusahaan kelapa sawit, alasan di balik perlawanan atas kehampaan hak tersebut, dan sejauh mana hasil dari mekanisme resolusi konflik perlawanan tersebut. Buku yang berfokus di 4 provinsi, yakni Kalimantan Barat, Riau, Sumatera Barat dan Kalimantan Tengah yang terbagi dalan 150 kasus ini mencoba untuk membuka urgensi pemahaman akan konflik kelapa sawit yang menyediakan wawasan eksplorasi karakter masyarakat serta hak-hak yang mereka miliki.

Dalam buku ini juga dijelaskan definisi dari kehampaan hak itu sendiri, bahwa kehampaan hak adalah tidak bertemunya hak secara de jure dan hak secara de facto. Jadi di situ dipaparkan tentang bagaimana aturan-aturan negara yang sebenarnya cukup melindungi hak masyarakat adat seperti perusahaan harus memiliki persetujuan masyarakat sebelum memasuki lahan perkebunannya dan salah satu hak yang penting adalah komunitas masyarakat secara de jure berhak atas skema bagi hasil dari perusahaan yang memakai lahan tersebut. Tetapi sebagaimana definisi kehampaan hak tersebut, de facto dari de jure mengenai hak komunitas masyarakat tersebut tidak sepenuhnya teraplikasi. Mulai dari terdapat temuan bahwa perusahan mengeksploitas tanpa izin seharusnya, 86 perusahaan yang tidak memberikan hak skema bagi hasil sebagaimana diperintahkan undang-undang, bahkan ada temuan 67 kasus perusahaan disebut tidak membayar kompensasi sama sekali. Buku ini juga membuka tabir tentang penyebab ketidaktemuan antara de facto dan de jure tersebut, yakni disebabkan oleh terjadinya perkawinan antara dunia bisnis dan negara sehingga segala aturan dapat ‘dilangkahi’ oleh perusahaan-perusahaan tersebut tanpa ada perlawanan dari pemerintah sebagai representasi rakyat dalam melindungi hak mereka.

Selain itu, di buku ini juga seakan menjelaskan bagaimana masyarakat sudah skeptis dengan peraturan perundang-undangan, sehingga komunitas masyarakat ini lebih memilih memakai mekanisme akomodatif, negosiasi dan mediasi. Hal ini juga merupakan temuan mengerikan menurut saya ketika masyarakat tidak lagi percaya dengan negaranya. Potensi terjadinya anarkisme bukan lagi hal yang mustahil ketika kepercayaan masyarakat telah hilang dengan negaranya. Meskipun komunitas masyarakat tersebut memilih cara tersebut sebagai cara terbaiknya, faktanya 68% dari kasus tidak berhasil mengabulkan tuntutan sesuai harapannya. Akan tetapi masyarakat bukan tidak pernah memakai mekanisme negara, mekanisme tanpa pelibatan negara ini juga merupakan upaya jalan keluar setelah mereka memakai mekanisme kenegaraan. Hal tersebut dikarenakan dari 40 kasus pengadilan, hanya 2 kasus yang menang dan terimplementasi dengan baik.

Selain beberapa respon ‘colongan’ di beberapa kalimat di atas, saya juga berpikir beberapa hal hasil dari pembacaan saya atas buku ini. Saya selalu berkeyakinan, pejabat-pejabat negara mulai dari eksekutif, legislative maupun yudikatif, jika terjadi suatu kebijakan yang bisa dianggap keliru, itu bukan karena mereka bodoh atau tidak mampu, tapi lebih kepada mereka sebenarnya mampu tapi tidak mau. Itulah kenapa istilah political will itu ada. Jadi ada faktor will di atas ilmu, aturan, dan tuntutan masyarakat atas kebijakan yang tepat sasaran tersebut. Pengaplikasian 20% plasma inti yang sudah diundangkan, izin-izin masyakarat yang diabaikan, implementasi hasil ‘kemenangan’ persidangan, itu semua adalah bentuk nyata dari posisi yang tinggi dari political will yang hilang dari kasus-kasus yang diteliti oleh penulis buku ini. Sebagaimana teori political will, bahwa kesediaan atau komitmen politik ini merupakan suatu tindakan yang bertujuan untuk mencapai seperangkat tujuan yang disertai dengan usaha berkelanjutan (Brinkerhoff, 2010). Selain itu, menurut Mujkić & Abazović (2015) political will juga memiliki tiga kategori di dalamnya, pertama adalah distribusi preferensi berkenaan dengan hasil yang diinginkan. Kedua, adalah mengenai otoritas, kapasitas dan legitimasi policy maker. Kemudian yang ketiga adalah bahwa political will selalu mempertimbangkan pilihan yang lemah sebagai pilihan yang mudah diabaikan. Dan dalam konteks buku ini, memilih untuk berpihak pada perusahaan adalah bentuk dari penganggapan masyarakat sebagai pihak yang lemah dan pantas diabaikan. Oleh karena itu, faktor politik adalah faktor kunci terakhir setelah faktor regulasi serta kesadaran masyarakat sudah tersedia

Ditulis oleh:
Racha Julian Chairurrizal
Mahasiswa S2 PSDK Fisipol UGM

Posting Komentar

0 Komentar